Belajar dari Pengalaman NU dan Muhammadiyah
Jakarta, Wiwa – Majlis Hukama Muslimin (MHM) memberikan kesempatan kepada ratusan pengunjung Islamic Beef Fair (IBF) untuk belajar dari Muhammadiyah dan NU untuk mewujudkan perdamaian. Pada tanggal 4 Februari 2024, dua ormas Islam terbesar di Indonesia menerima Zayard Award atas peran dan kontribusinya, termasuk mendorong perdamaian.
Acara dikemas dengan talkshow bertajuk ‘Peran Lembaga Keagamaan dalam Mendukung Perdamaian Dunia, Belajar dari Pengalaman NU dan Muhammadiyah.’ Hadir sebagai pembicara: Prof. Dr. Abdul Muti, M.Ed (Sekretaris Umum Muhammadiyah), KH Ulil Abshar Abdullah (Ketua PBNU), dan Prof. Dr. M Qureshi Shihab, MA (Anggota dan Pendiri MHM). Sebagai moderator, Ustadz M Arifin, MA.
Baik Profesor Mu’ti maupun KH Ueil Abshar mengapresiasi inisiatif MHM yang memberikan kesempatan bagi Muhammadiyah dan NU untuk berbagi pengalaman dalam mendukung perdamaian.
Sebagai pembicara pertama, Prof. Muti berbicara tentang pengalaman dan kontribusi Muhammadiyah dalam mendukung perdamaian di berbagai negara. Misalnya di Thailand bagian selatan (orang Pattani) dan Filipina (orang Moro). Muhammadiyah berupaya mewujudkan perdamaian di sana agar masyarakatnya terbebas dari rasa takut, antara lain dengan menjamin jati diri mereka tidak dirusak, terjamin kebebasan mengamalkan agama, dan kedaulatan atas jati diri. Akan terjamin.
“Muhammadiya juga terlibat dalam proses perdamaian di Afrika Tengah, bekerja sama dengan lembaga Katolik di Italia,” kata Profesor Muti di Jakarta, Kamis, 15 Agustus 2024.
Menurut Profesor Muti, Muhammadiyah juga menyelenggarakan World Peace Forum bersama mitra institusi dunia secara berkala, setiap dua tahun sekali. Platform ini terus berupaya untuk mengekspresikan semangat perdamaian dan solusi. Dengan demikian, tercipta ruang dialog yang lebih jujur dalam membangun perdamaian.
“Untuk Palestina, Muhammadiyah mendirikan dua sekolah untuk pengungsi Palestina. Namanya Sekolah Muhammadiyah, semua siswanya warga Palestina. Muhammadiyah juga mendirikan sekolah dan layanan kesehatan untuk pengungsi Rohingya,” kata guru besar itu. Muti.
Dalam konteks Indonesia, Profesor Mu’ti mengatakan, upaya Muhammadiyah dalam mewujudkan perdamaian dilakukan dengan menciptakan generasi cinta damai. Muhammadiyah juga mengembangkan usaha amal yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat, serta memberikan layanan pendidikan kesehatan dan layanan sosial lainnya.
“Jika ormas Islam tidak dilibatkan dalam proses ini, saya rasa Indonesia tidak akan bisa menjadi negara yang aman dan damai, dan masyarakatnya akan bahagia, meski sebagian dari mereka tidak seberuntung secara ekonomi,” tegasnya.
“Bisa tercipta karena mempunyai peran organisasi kemasyarakatan keagamaan yang secara sukarela mengemban tanggung jawab membangun kesejahteraan masyarakat dan membangun masyarakat yang harmonis,” imbuhnya.
Presiden PBNU KH Ulil Abshar Abdullah dalam paparannya menegaskan, salah satu persoalan yang paling mendesak terkait perdamaian adalah perdamaian dalam negeri. Menurutnya, selalu menjaga perdamaian di Indonesia dan menjaga perdamaian di kalangan umat Islam merupakan tantangan terbesar yang harus dijawab dengan baik.
Menurut KH Ulil, salah satu kunci keberhasilan transisi politik dari era otoriter ke era terbuka dan demokratis di Indonesia adalah kontribusi kelompok Islam antara lain NU, Muhammadiyah, Persis, Jamiatul Khair, Nahdlatul. Wathan, Mathlalul Anwar, Al-Wasliyyah, dkk. Keberhasilan dan stabilitas negara ini tidak lepas dari peran umat Islam di Indonesia.
Setelah itu Kyai Ulil menceritakan pengalaman kunjungannya ke Pakistan. Menurutnya, kondisi politik di Pakistan dan Bangladesh, negara Muslim di anak benua India, kurang menggembirakan, antara lain karena ketidakstabilan politik dan kehidupan sosial.
Ia menjelaskan, “Kami bersyukur Indonesia kini menikmati stabilitas dan hubungan sosial yang cukup damai. Dalam pandangan NU, semua itu jelas terkait dan disumbangkan oleh umat Islam.”
Lantas, dari manakah kontribusi umat Islam dalam membangun perdamaian dan stabilitas sosial? Pertama, terkait model pemahaman keagamaan yang dikembangkan oleh ormas Islam di Indonesia. Menurut dia. Pemahaman agama yang dikembangkan umat Islam di Indonesia mendukung perdamaian, bukan pemahaman agama yang menimbulkan konflik atau perselisihan dalam diri umat Islam atau antara umat Islam dengan sesamanya.
“Sebagai contoh, NU mengembangkan tiga model Ukhuvva yang dicetuskan oleh KH Achmad Siddiq, yaitu: Ukhuvva Islamiyya, Ukhuvva Wathaniyyah, dan Ukhuvva Basiriyah,” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakannya, “Pemikiran-pemikiran seperti ini jelas diperlukan untuk menciptakan cara pandang di kalangan warga NU dan umat Islam pada umumnya, dengan memiliki cara pandang yang dapat menciptakan persaudaraan di semua tingkatan, baik agama, kebangsaan, dan kemanusiaan.”
Kedua, hampir seluruh kelompok Islam di Indonesia menerima keberadaan negara nasional. Tidak ada kontradiksi keyakinan umat Islam di Indonesia, antara Islam dan nasionalisme, antara beragama Islam dan menjadi warga negara Indonesia, antara menganut ajaran Islam dan hidup di bawah pemerintahan nasional yang bukan negara teologis.
Bentuk negara seperti ini telah diterima oleh umat Islam Indonesia. Hal ini menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi perdamaian di Indonesia, ujarnya.
Ia menekankan, “Jika pemahaman yang berkembang bertentangan dengan pemahaman nasional, kita tidak akan bisa melihat situasi damai ini.”
Ketiga, organisasi keagamaan di Indonesia, termasuk NU dan Muhammadiyah, mampu mengelola konflik. KH Ulil melihatnya sebagai anugerah yang luar biasa. Ia berpandangan bahwa keberhasilan integrasi politik yang stabil di Indonesia, dengan segala permasalahannya, tidak lepas dari kontribusi umat Islam. Dan mayoritas umat islam di indonesia adalah NU dan muhammadiyah.
Dikatakannya, “Sebagai bangsa, kita patut mengapresiasi NU dan Muhammadiyah yang mampu mengembangkan kemampuan mengelola perbedaan sehingga tercipta situasi damai.”
Belajar dari Indonesia
Profesor Quraisy mengamini apa yang dijelaskan Profesor Muti tentang Muhammadiyah dan KH Ulil tentang NU. Menurutnya, peran tersebut turut menjadi alasan NU dan Muhammadiyah menerima Zayed Prize for Humanity pada 4 Februari 2024.
Profesor Quresh berbagi pengalamannya selama bergabung di MHM. Menurutnya, Indonesia adalah contoh perdamaian. Dalam beberapa pertemuan anggota yang dihadiri Profesor Quraisy, MHM menjadikan Indonesia sebagai bukti perdamaian.
“Indonesia sering disebut-sebut. Bukan hal yang aneh jika mereka mengatakan, ‘Ayo kita ke Indonesia untuk belajar’,” ujarnya.
Beliau mengatakan, “Sebenarnya MHM ingin belajar dari Indonesia. Maka sekitar 7 tahun yang lalu, MHM menyelenggarakan seminar tentang bagaimana membangun perdamaian dalam masyarakat Islam dan pembicaranya dari Indonesia.”
Profesor Quresh mengatakan tujuan pembentukan MKM adalah untuk memperkuat perdamaian. Dalam pandangan MHM, kedamaian ada di hati. Oleh karena itu hati harus disucikan. Kesalahpahaman yang ada harus dihilangkan.
Ditegaskannya, “Tujuan MKM adalah memperkuat perdamaian yang dimulai dari masing-masing individu, komunitas, negara, kemudian disebarkan ke seluruh dunia. Karena semua agama menginginkan perdamaian.” Survei: Pemilih basis Nahdlyin terbanyak memilih Khofifah-Emil, posisi Khofifah sebagai Ketua PP Muslimat NU membantunya mendulang suara dari basis Nahdlyin. tonosgratis.mobi.co.id 13 November 2024