ICCT: Elektrifikasi Sektor Transportasi Sudah Berada di Jalur Tepat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dewan Internasional untuk Transportasi Bersih (ICCT) menilai apakah elektrifikasi industri transportasi berada pada jalur yang tepat untuk mencapai target emisi nol bersih (NZE) pada atau sebelum tahun 2060.
Kendaraan listrik berbahan bakar baterai memiliki potensi lebih besar dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dibandingkan jenis kendaraan rendah emisi lainnya.
Selain itu, kendaraan listrik bertenaga baterai, jika digabungkan dengan peningkatan bauran listrik dari sumber energi terbarukan, juga dapat membantu mencapai tujuan pengurangan gas rumah kaca.
Hal inilah yang ditemukan ICCT dalam penelitian bertajuk ‘Perbandingan siklus hidup emisi gas rumah kaca kendaraan bermesin pembakaran internal dan kendaraan listrik di Indonesia’.
Kajian ini dipresentasikan pada “Media Workshop: Course To Zero (Emission)” di ECO-S Coworking & Office Space Sahid Sudirman Residence. Acara yang dipimpin oleh Manajer Produk Katadata Green Jeany Hartriani ini dihadiri oleh Rachmat Kaimuddin, Deputi Direktur Komunikasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Komunikasi dan Investasi Maritim, serta dua peneliti senior ICCT, Aditya Mahalana dan Georg Bieker. Georg adalah penulis utama studi tersebut.
Rachmat mengatakan, sektor transportasi merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua di Indonesia dan terbesar di Jakarta.
“Pemerintah ingin mendorong penerapan kendaraan tanpa emisi. “Kendaraan terbaik untuk ini adalah kendaraan listrik baterai,” katanya.
“Perhitungan ICCT menunjukkan bahwa pada tahun 2050, emisi dari sektor transportasi akan dua kali lebih tinggi dibandingkan saat ini,” tambah Aditya.
Ia menjelaskan, adopsi kendaraan listrik bertenaga baterai dapat mengurangi polusi di sektor tersebut.
Penelitian ICCT yang menilai emisi siklus hidup kendaraan roda empat dan roda dua menunjukkan potensi mengurangi emisi gas rumah kaca dengan membandingkan sumber-sumber powertrain yang berbeda. Siklus hidup emisi mengacu pada produksi kendaraan mulai dari proses manufaktur, bahan bakar, termasuk proses penambangan, pengilangan, dan pembangkit listrik hingga akhir masa pakai dan masa pakai kendaraan (biasanya 18 hingga 20 tahun).
ICCT menggunakan proyeksi penggunaan kendaraan dan sumber energi untuk tahun 2023. Studi ini juga menyajikan perkiraan untuk tahun 2030, berdasarkan rencana nol emisi (NZE) pemerintah yang menargetkan tahun 2060, khususnya dengan menambahkan sumber energi terbarukan ke dalam rencana tersebut.
Lima seri tenaga dibandingkan dengan kendaraan bahan bakar fosil (BBM), kendaraan listrik hibrida (HEV), kendaraan listrik hibrida plug-in (PHEV), kendaraan listrik sel bahan bakar hidrogen (FCEV), dan kendaraan listrik baterai.
“Kendaraan baterai listrik hanya akan menyumbang setengah dari penjualan mobil berbahan bakar bensin pada tahun 2030, dan penjualan bisa turun lebih jauh lagi,” kata Georg Wicker.
Statistik penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2023, emisi siklus hidup kendaraan listrik baterai untuk mobil kompak, kendaraan sport utility (SUV), dan kendaraan serba guna (MPV) akan 47-56% lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar bensin. Sementara itu, proyeksi emisi siklus hidup SUV pada tahun 2030 diperkirakan 52-65% lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar bensin yang diproduksi pada tahun 2023.
Menggunakan listrik dari sumber terbarukan untuk mengisi baterai kendaraan listrik dapat mengurangi potensi emisi karbon sebesar 85%.
“HEV dan PHEV mungkin membantu mengurangi emisi, namun tidak dalam jangka panjang. “Kedua kendaraan ini mempersulit pencapaian target NZE 2060,” kata Bicker. HEV masih menggunakan bensin dan hanya memberikan manfaat penghematan bahan bakar. PEV masih menggunakan bensin sebagai bahan bakar utamanya.
Sepeda motor listrik juga masuk dalam studi ICCT. Menurut penelitian, sepeda motor listrik juga berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca dibandingkan sepeda motor tradisional. Penelitian ICCT menunjukkan bahwa pada tahun 2023, emisi siklus hidup segmen sepeda motor listrik akan lebih rendah 26-35% dibandingkan sepeda motor berbahan bakar bensin.
Proyeksi siklus hidup sepeda motor listrik pada tahun 2030 berpotensi menurunkan emisi sebesar 34-51% dibandingkan sepeda motor berbahan bakar bensin yang diproduksi pada tahun 2023.
Studi ICCT menyarankan empat pilihan kebijakan: Pertama, pemerintah dapat menerapkan kebijakan khusus untuk meningkatkan produksi baterai dan kendaraan listrik dalam negeri.
Kebijakan ini dapat ditindaklanjuti dengan Kementerian Perdagangan, Perindustrian, dan Energi yang menetapkan pedoman produksi dan penjualan kendaraan listrik. Kebijakan ini juga dipadukan dengan insentif pengurangan pajak bagi produsen kendaraan listrik.
Kedua, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menghentikan produksi dan penjualan mobil, sepeda motor, HEV, dan PHEV bertenaga bensin pada tahun 2040. Hal ini penting untuk mempercepat pencapaian target NZE 2060.
Ketiga, pemerintah dapat membantu produsen meningkatkan pangsa kendaraan listrik dengan mewajibkan penjualan kendaraan listrik dan/atau menggunakan standar CAFE (Corporate Average Fuel Economy). Standar CAFE merupakan upaya untuk mengurangi konsumsi bahan bakar kendaraan seperti mobil kompak dan truk dengan memanfaatkan standar efisiensi bahan bakar.
Sebagai opsi terakhir, pemerintah pusat dan negara bagian dapat mempertimbangkan pemberian subsidi dan berbagai keringanan pajak untuk pembelian kendaraan listrik bertenaga baterai. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan premi/ rabat atau pajak untuk kendaraan yang sangat berpolusi atau memakan bahan bakar.
“Selain insentif, kebijakan non-insentif seperti kebijakan ganjil genap di Jakarta atau penerapan tarif parkir khusus untuk kendaraan bertenaga baterai dapat membantu,” kata Aditya. Selain jam sibuk (sore hingga pagi), juga diusulkan rencana penurunan biaya pengisian baterai kendaraan listrik.
Menurut Rachmat, pemerintah akan terus memberikan insentif keringanan pajak dan mengeluarkan aturan penangguhan pajak impor kendaraan listrik untuk mendorong produksi dalam negeri.
Dia mengatakan pemerintah berencana menarik investor seperti Citroen untuk membangun kendaraan listrik bertenaga baterai di negara tersebut mulai Juli tahun ini. Rachmat juga mengatakan pemerintah telah menyiapkan dua jenis insentif untuk sepeda motor dan kendaraan listrik. “Untuk sepeda motor kami berikan subsidi Rp7 juta dan untuk mobil kami berikan 10% dari pajak yang ditanggung pemerintah,” ujarnya.
Sektor transportasi saat ini menyumbang 27% emisi gas rumah kaca dan berpotensi tumbuh pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi negara. Dekarbonisasi sektor transportasi mempunyai manfaat termasuk mengurangi jumlah orang yang berisiko terkena dampak negatif polusi udara terhadap kesehatan dan produktivitas, mendukung udara bersih untuk kesehatan masyarakat, dan mengurangi pendapatan minyak dan subsidi anggaran pemerintah. .