Categories
Kesehatan

Pria Jerman Disuntik Vaksin Covid-19 Sampai 217 Kali dalam Tiga Tahun, Apa Dampaknya?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Seorang pria asal Magdeburg, Jerman menerima 217 vaksin Covid-19 dalam kurun waktu tiga tahun. Hal ini bertentangan dengan saran medis dan mencakup keadaan tidak biasa yang membingungkan para ilmuwan.

 

Terakhir, para ilmuwan mengamati lebih dekat pria berusia 62 tahun tersebut. Hasil studi tersebut dipublikasikan dalam laporan di jurnal Lancet Infectious Diseases. Vaksin tersebut dibeli dan diberikan kepada pria tersebut secara terpisah selama 29 bulan.

 

Jaksa kota Magdeburg mengumpulkan bukti sekitar 130 suntikan dan membuka penyelidikan atas tuduhan penipuan. Namun, tidak ada tuntutan pidana yang diajukan.

Meski menerima vaksin dalam dosis besar, pria tersebut tampaknya tidak mengalami efek buruk apa pun. Para ilmuwan di Universitas Erlangen-Nuremberg mengetahui kasusnya melalui artikel dan mengundangnya untuk menjalani beberapa tes.

 

Temuan ini menunjukkan bagaimana sistem kekebalan merespons vaksin, serta seberapa besar vaksinasi Covid-19 menjadi metode perlindungan yang dipilih. Para peneliti menguji sampel darah segar dan beku serta sampel air liur dari para pria tersebut.

Dr Kilian Schober dari departemen mikrobiologi universitas mengatakan sampel darah diambil ketika pria tersebut diberi lebih banyak vaksinasi yang bertentangan dengan keinginannya.

 

“Kami dapat menggunakan sampel ini untuk menentukan bagaimana sistem kekebalan merespons vaksin,” kata Dr. Schober, seperti dilansir Express, Kamis (3/7/2024).

Tanpa menyebabkan infeksi, vaksin Covid-19 dapat mengajarkan tubuh untuk melawan penyakit. Vaksin messenger ribonucleic acid (mRNA) bekerja dengan memasukkan sebagian kode genetik virus ke dalam sel tubuh. Sistem kekebalan tubuh kemudian harus mampu mengenali dan mengetahui cara melawan Covid-19 jika terinfeksi.

Categories
Kesehatan

Cerita Dinkes DKI Gagas Layanan Pengantaran Obat ARV untuk ODHIV, Dulang Apresiasi

tonosgratis.mobi, Jakarta – Wabah COVID-19 membangkitkan otak Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta agar Orang dengan HIV (ODHIV) bisa rutin menggunakan obat antiretroviral (ARV).

Seperti diketahui, selama sakit, masyarakat disarankan untuk tinggal di rumah untuk mencegah penularan. Terutama kelompok rentan seperti orang yang hidup dengan HIV lebih banyak terkena penyakit ini.

Hal inilah yang menjadi dasar Dinas Kesehatan DKI meluncurkan layanan penyediaan obat ARV – Jak-Anter. Tujuannya untuk menjamin keberlangsungan pengobatan ARV bagi ODHA di masa pandemi COVID-19.

Jak-Anter diluncurkan pada April 2020 sebagai upaya tanggap darurat COVID-19 melalui proyek LINKAGES EpiC dengan dukungan dari USAID.

Kini, melalui kolaborasi dengan pihak swasta Good Doctor, layanan ini tersedia dalam komputer yang mudah diakses melalui aplikasi Grab Health. Dalam waktu singkat, layanan ini memperluas mitra rumah sakitnya agar mampu menjangkau lebih banyak pengidap HIV di DKI Jakarta.

Integrasi layanan Jak-Anter dengan aplikasi ini akan diaktifkan pada April 2023. Integrasi ini merupakan inovasi dalam pemberian layanan kepada penderita HIV-AIDS melalui komunikasi dengan dokter rumah sakit dan kelanjutan langsung penggunaan obat ARV.

Setelah menghubungi dokter melalui aplikasi, resep elektronik akan dikirim ke rumah sakit dan diproses oleh jasa kurir yang diatur untuk mengantarkan obat ARV ke alamat tujuan. Layanan Jak-Anter terintegrasi dengan aplikasi untuk memudahkan konsultasi rutin, pemesanan dan pengantaran obat bagi konsumen dan tenaga kesehatan.

Pada awal kerja sama, Dinas Kesehatan DKI Jakarta menunjuk 11 puskesmas dan satu rumah sakit swasta untuk mengikuti kelompok uji coba Jak-Anter melalui aplikasi.

Saat ini puskesmas yang terlibat dalam layanan tersebut bertambah lebih dari 40 puskesmas di DKI Jakarta. Bahkan, saat ini Jak-Anter sedang dalam proses perluasan ke berbagai rumah sakit yang melayani ODHA.

Jadi, semakin banyak Puskesmas yang ikut dalam layanan Jak-Anter, maka semakin banyak pula masyarakat HIV-AIDS di DKI Jakarta yang merasakan manfaat dari layanan tersebut.

Hasil kerja sama antara instansi pemerintah dan swasta ini mendapat respon positif dari perwakilan negara lain pada konferensi dunia Fast Track Cities 2023 di Amsterdam, Belanda.

Hal itu diungkapkan Kepala Puskesmas Daerah Bidang Informatika dan Teknologi Informasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dr. Verry Adrian, M.Epid.

“Pada Fast Track Cities 2023 di Amsterdam, saya menjelaskan layanan Jak-Anter sebagai upaya Jakarta dalam pengendalian HIV dengan menggandeng pihak swasta untuk mendukung pengobatan HIV di rumah,” kata Verry dalam siaran persnya, Jumat (23/2). /2024).

“Dengan adanya layanan Jak-Anter ini diharapkan tidak ada lagi pengidap HIV di DKI Jakarta yang tertinggal dalam mendapatkan layanan kesehatan,” imbuhnya.

Pelayanan Jak-Anter mendapat pujian dari berbagai negara yang hadir dalam konferensi tersebut. Pada forum ini, Verry berbagi praktik baik kolaborasi antara pemerintah dan swasta dalam upaya menyukseskan inisiatif baru.

Dalam keterangan yang sama, Direktur Dinas Kesehatan USAID Indonesia Enilda Martin mengatakan perluasan layanan Jak-Anter ke banyak puskesmas di DKI Jakarta memberikan kemudahan bagi pengidap HIV. Khususnya akses terhadap layanan kesehatan secara cepat dan efisien tanpa harus keluar rumah.

“Integrasi layanan dan aplikasi telah berperan penting dalam perkembangan teknologi kesehatan di Indonesia dan memberikan manfaat yang signifikan bagi pasien,” kata Elinda.

Sementara itu, Project Director EpiC Indonesia Erlian Aditya mengatakan meski jumlah pasien yang menggunakannya tidak banyak dan perlu ditingkatkan kesadarannya, Jak-Anter memberikan pilihan berbasis manusia.

“Sehingga ODHA dapat tetap memiliki akses terhadap obat ARV dimanapun berada dan membantu petugas kesehatan mengatur proses pengiriman obat ARV ke rumah pasien.”

Wakil Presiden Sistem Medis PT Good Medical Technology, dr. Ega Bonar Bastari mengatakan, “Kami senang dan bangga karena di satu sisi banyak puskesmas yang terlibat dalam layanan Jak-Antera dan di sisi lain rasa terima kasih dunia internasional atas layanan ini.”

“Pencapaian ini memperkuat keyakinan kami bahwa telemedis dapat menyelesaikan permasalahan pengendalian HIV-AIDS yang memerlukan pengobatan ARV seumur hidup,” kata Ega.