Categories
Lifestyle

Gejala DBD pada Anak yang Harus Diwaspadai, Orang Tua Wajib Tahu

Surabaya – Demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi penyakit menular yang serius di Indonesia. Orang tua harus mewaspadai demam berdarah jika anaknya menunjukkan gejala. Kurangnya pengetahuan tentang gejala demam berdarah pada anak menjadi penyebab banyak kasus terlambat ditangani.

DBD sendiri terbagi menjadi tiga jenis, jelas Gina Nur Jalila, pakar kesehatan UM Surabaya. yaitu demam berdarah, demam berdarah dengue, dan sindrom syok dengue.

Dosen Dokter Spesialis Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) menjelaskan, pada beberapa kasus, gejala demam berdarah pada anak sering kali diartikan sebagai gejala pilek atau infeksi yang disebabkan oleh virus jenis lain.

Menurut Gina, beberapa gejalanya antara lain: Setelah digigit nyamuk, anak bisa mengalami demam tinggi selama 3 hingga 14 hari, mual, muntah, sakit kepala, nyeri otot di sekujur tubuh, muncul ruam merah di kulit, dan pembengkakan kelenjar getah bening.

Demam berdarah dengue (DBD) menimbulkan dampak yang semakin parah pada anak akibat kebocoran plasma darah dengan gejala yang terlihat seperti bengkak, kaku, perut membesar, dan beberapa pendarahan spontan di sejumlah bagian tubuh. jelas Gina.

Gina menjelaskan, timbulnya gejala DBD yang parah disebabkan oleh keterlambatan pengobatan dan daya tahan tubuh anak yang belum kuat untuk menghadapi paparan virus, serta anak dengan penyakit penyerta seperti obesitas, meski memiliki penyakit penyerta. dapatkan perawatan medis untuk melawan Gejala pada anak biasanya dimulai antara 24 dan 48 jam atau demam pada hari keempat hingga kelima.

Setelah suhu tubuh mulai menurun, muncul beberapa gejala seperti sakit perut atau nyeri perut tertekan, perubahan suhu tubuh dari demam menjadi hipotermia, tangan dan kaki terasa dingin dan pucat, muntah darah atau tinja berdarah, mimisan, pendarahan. Gusi tanpa sebab, trombosit dalam darah berkurang, kerja organ limpa terganggu.

Gina juga menegaskan, jika anak berada pada tahap ini, ia akan merasa lelah, gelisah, mudah tersinggung, dan mudah marah. Selama pemeriksaan, kebocoran plasma akan terdeteksi.

Lebih lanjut Gina menjelaskan, bentuk demam berdarah pada anak yang paling serius adalah sindrom syok dengue karena merupakan jenis demam berdarah yang paling mematikan. Gejalanya berupa pendarahan yang datang secara tiba-tiba dan tidak berhenti di bagian tubuh mana pun, termasuk pada gusi, hidung, mulut, dan feses. Tekanan darah turun tajam, denyut nadi melemah. kebocoran ke pembuluh darah; Produksi air kecil berkurang drastis atau bahkan tidak ada. Ada kelainan pada fungsi organ dalam. sampai jumlah trombosit turun di bawah 100.000 per milimeter kubik.

“Gejala demam berdarah jenis ini sangat fatal jika tidak segera ditangani. DBD sendiri sudah banyak memakan korban jiwa dan sebagian besar yang meninggal adalah anak-anak,” ujarnya.

Gina berpesan agar orang tua lebih waspada dan waspada terhadap gejala demam berdarah pada anak dengan meningkatkan daya tahan tubuh anak dengan memastikan kebutuhan cairan dan juga mendapatkan makanan bergizi dan vitamin.

Categories
Kesehatan

Menkes Budi: Perubahan Iklim Ubah Interaksi Hewan dengan Manusia dan Picu Penyakit Menular

tonosgratis.mobi, Jakarta – Perubahan iklim tidak hanya terkait dengan kenaikan suhu global dan kelangkaan air. Selain itu, perubahan iklim dapat memicu berbagai macam permasalahan, termasuk interaksi manusia dan hewan.

Hal tersebut diungkapkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Menurutnya, perubahan iklim berdampak besar terhadap kesehatan manusia. Berkontribusi terhadap peningkatan penyakit menular dan tidak menular.

“Kita akan melihat dampak perubahan iklim terhadap penyakit menular dan penyakit tidak menular. Sebagai contoh penyakit menular, perubahan iklim akan mengubah interaksi antara hewan dan manusia. “Ketika hutan hilang, suhu akan menjadi lebih hangat, manusia yang belum pernah bertemu manusia sebelum bertemu manusia,” kata Budi saat membuka proyek Green Climate Fund (GCF) di Jakarta Selatan, Senin (29/04/2024).

Ia juga mengatakan, hampir semua wabah berasal dari hewan. Misalnya flu burung Asia yang disebut-sebut berasal dari burung, dan Covid-19 dikatakan berasal dari kelelawar.

“Semakin sering interaksi berubah, semakin besar kemungkinan terjadinya epidemi berikutnya,” ujarnya.

Lebih lanjut, Budi mengatakan semua hewan yang terpapar perubahan iklim dan kemungkinan bersentuhan dengan manusia harus dilakukan screening.

“Kita skrining dulu patogen, virus, dan bakteri berbahaya. Jadi kalau bisa diteliti di tingkat hewan, vaksinnya apa, obatnya apa, diagnosisnya apa. , itu akan terlambat dan lebih mahal (untuk ditangani).”

Budi mencontohkan lain dampak perubahan iklim. Menurutnya, perubahan iklim dapat mengubah perilaku seluruh organisme, termasuk nyamuk.

“Nyamuk misalnya, sekarang banyak yang membawa penyakit demam berdarah. Kita sudah tahu kalau El Niño datang, fenomena El Niño adalah perubahan iklim, dan demam berdarah semakin meningkat. “Sekarang El Niño bisa semakin sering terjadi. Kalau semakin sering maka DBD juga akan meningkat,” jelas Budi.

Perubahan iklim memperburuk fenomena alam yang ada. Dengan adanya perubahan iklim, El Niño yang biasanya terjadi di daerah tropis kini juga dapat terjadi di wilayah lain.

“Konsekuensi dari perubahan iklim adalah El Nino yang tadinya terjadi di daerah tropis, bisa terjadi di wilayah lain. DBD yang tadinya hanya ditemukan di Brazil, Indonesia, atau negara-negara Afrika, mungkin nantinya akan semakin meluas.”

Tak berhenti sampai disitu, Budi juga mengatakan penyakit tidak menular juga disebabkan karena perubahan iklim.

“Untuk penyakit tidak menular, kita tahu bahwa hanya dengan adanya perubahan iklim maka permukaan laut akan naik dan dataran menyusut. Faktanya, populasi manusia terus bertambah.”

“Dulu mungkin hanya ada 4 miliar orang, mungkin 9 miliar atau 10 miliar dalam 5 tahun, Anda perlu makan, bukan? Sementara itu, tanaman di negara ini semakin sedikit tumbuh. Jadi, pasti ada masalah gizi. dan kita harus mempersiapkannya sekarang,” jelas Budi.

Berbagai dampak perubahan iklim harus diantisipasi saat ini, lanjut Budi. Sebab, perubahan iklim dapat menyebabkan kondisi yang lebih serius. Salah satunya menyebabkan kanker kulit.

“Dengan perubahan iklim, lapisan ozon menipis, radiasi matahari meningkat, radiasi matahari dapat mengubah genetika kita, kanker kulit akan meningkat akibat radiasi.”

Di sisi lain, vegetasi semakin berkurang, polusi tinggi. Sebenarnya udaranya bersih, tapi karena semakin banyak pohon yang ditebang, polusi PM2.5 pun semakin meningkat.

Akibatnya ada gangguan pernafasan, paru-paru dan lain-lain. Jadi maksud saya itu yang terjadi, itu yang harus kita asumsikan, pungkas Budi.