slot jepang

SRMNCAH+N Cakup Masalah Kesehatan Seksual hingga Gizi, CISDI: Penanganan di Indonesia Belum Optimal

tonosgratis.mobi, Jakarta – Istilah SRMNCAH+N mengacu pada masalah kesehatan seksual dan reproduksi, kesehatan ibu dan anak, kesehatan remaja, dan gizi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memasukkan permasalahan ini ke dalam istilah SRMNCAH+N untuk memfasilitasi pengumpulan dan pemantauan data. Hal ini juga menekankan hubungan erat dari subyek-subyek ini.

Di Indonesia, penyelesaian permasalahan SRMNCAH+N dinilai kurang optimal dan fragmentaris. Hal ini dibuktikan dengan terus menurunnya angka stunting, tingginya angka kematian ibu dan anak, meningkatnya praktik perkawinan anak, dan meningkatnya kekerasan berbasis gender.

“Ketimpangan gender, kurangnya komitmen dan dukungan anggaran serta ego sektoral membuat pemerintah kesulitan dalam meningkatkan berbagai indikator kesehatan ibu dan anak, kesehatan remaja dan gizi,” kata Project Leader TRACK SDGs, Indonesia kepada pusat tersebut. Inisiatif pembangunan strategis. (CISDI), kata Faryal Kotsar dalam keterangan pers, Rabu 05 Juni 2024.

Berbagai permasalahan tersebut terungkap pada Program Penyaluran Perdana TRACK Kesehatan di Jakarta Pusat pada Jumat, 31 Mei 2024.

Agenda yang diikuti 19 organisasi masyarakat sipil ini merupakan bagian dari rangkaian TRACK Health yang berlangsung pada Januari hingga Mei 2024. CISDI mengelola Track Agenda Kesehatan di Kabupaten Garut, Jawa Barat dan Kabupaten Simbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

TRACK Health merupakan proyek kolaborasi antara organisasi pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil setempat. Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk melakukan perencanaan pembangunan yang komprehensif dan berorientasi pada kesehatan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

 “Trac Health berupaya mendukung pendekatan multi-sektoral untuk mengatasi masalah SRMNCAH+N. Setelah mengadakan lokakarya perencanaan pembangunan yang berfokus pada kesehatan di dua kabupaten, Trac Health Alliance mengembangkan daftar kebijakan,” jelas Fakhil.

Temuan kesehatan TRACK di Simbawa Barat dan Garouth menunjukkan bahwa perlindungan dan kesejahteraan perempuan dan anak masih belum baik.

Ego departemen dalam pengelolaan data, kurangnya komitmen dan dukungan anggaran serta penggunaan perdebatan regional yang lebih fokus pada pembangunan infrastruktur fisik, hanyalah beberapa dampak yang ditimbulkan dari hal ini.

Proyek Kesehatan TRACK mencatat permintaan pembayaran perkawinan anak di Simbawa Barat dan Garut cukup tidak konsisten. Di Zimbabwe Barat, terdapat nota kesepahaman dengan Dinas Kesehatan mengenai layanan pemeriksaan kesehatan anak dalam kasus permohonan surat nikah di Pengadilan Agama Tilwang.

Melalui nota kesepahaman ini, Simbawa Barat berhasil menurunkan jumlah permohonan perkawinan anak yang disetujui menjadi tiga kasus pada tahun 2023, jumlah terendah di provinsi Nusa Tenggara Barat.

Sebaliknya di Garuta yang masih minim komitmen dan kerjasama lintas sektoral antara dinas kesehatan dan pengadilan agama, hasil pemeriksaan dan syarat bantuan dari dinas/ahli hanya bersifat sukarela.

Hasilnya, antara 2019-2022, rata-rata ratusan permohonan cerai nikah disetujui di Pengadilan Agama Groot setiap tahunnya, dan tidak ada yang ditolak, kata Fitzgerald.

Fachral menambahkan, Indonesia menduduki peringkat keempat dalam pernikahan anak di dunia.

Bahkan setelah perubahan batasan usia dalam UU Perkawinan pada tahun 2019, angka pernikahan anak meningkat menjadi 173 persen pada tahun 2020.

Berdasarkan data UNICEF, pada tahun 2023, setidaknya 25,52 juta anak di Indonesia telah menikah pada usia dini. Nusa Tenggara Barat tercatat sebagai provinsi dengan proporsi kasus perkawinan anak tertinggi pada tahun 2023.

Pada penerapan awal TRACK Health, 22 peserta yang mewakili organisasi masyarakat sipil berpartisipasi dalam diskusi kelompok terfokus (FGD). Komisi membagi peserta menjadi lima kelompok diskusi sesuai dengan isunya: kesehatan ibu, anak dan gizi, kesehatan seksual dan reproduksi, pernikahan anak, kekerasan berbasis gender, dan perilaku berisiko di kalangan remaja.

Dari diskusi kelompok ditemukan bahwa penyelesaian permasalahan SRMNCAH+N di tingkat nasional dan daerah terhambat oleh beberapa faktor, antara lain: lemahnya tata kelola di sektor-sektor, penggunaan anggaran yang tidak tepat.

Manajer Program Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI), Desrina mencontohkan kendala penyelesaian kasus kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan seksual dan praktik pernikahan anak.

Menurut Desrin, pekerjaan rumah terbesar dalam penegakan hukum kekerasan seksual (UU TPKS) adalah kemampuan aparat penegak hukum dalam menyikapi laporan kekerasan berbasis gender.

“Peningkatan keterampilan aparat penegak hukum penting dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sebagaimana tercantum dalam Pasal 81 UU TPKS,” ujarnya.

Panelis lainnya, Marsha, peneliti di Indonesian Justice Research Society (IGRS), menambahkan perlunya panduan teknis untuk mengatasi kekerasan berbasis gender dan komitmen anggaran, termasuk sumber daya keuangan untuk mendukung korban kekerasan.

Marsha mengatakan, perlu adanya pelatihan lebih lanjut kepada pihak kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung mengenai penerapan UU TPKS untuk menghindari ketidakpastian penerapan UU serta membantu pengobatan dan rehabilitasi korban.

“Selanjutnya, perlu adanya pelatihan in-house yang berkesinambungan di setiap institusi tentang perempuan, anak dan penyandang disabilitas tentang pendekatan ramah dalam peradilan pidana,” tambahnya.

Menurut Marsh, permasalahan serupa juga muncul saat memproses permohonan cerai. Banyak putusan hakim yang mengedepankan prinsip patriarki dan sama sekali mengabaikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.

Misalnya, catatan putusan menunjukkan bahwa ada seorang hakim yang memaafkan pasangan muda untuk menikah dengan alasan menghindari perzinahan karena mereka sudah berpacaran. Padahal, mereka berdua masih di bawah umur dan masih bersekolah.

Bahkan dalam kasus ekstrim, korban kekerasan berbasis gender justru merasa tertekan untuk menikah dengan pelaku. Ironisnya, tekanan seringkali datang dari keluarga korban dan pelaku yang memilih untuk menghindari rasa malu secara sepihak.