Suka Stalking? Pakar Ungkap Kaitannya dengan Masalah Mental Serius
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Di dunia digital, fenomena penguntitan dianggap lumrah dan sepele. Namun, menurut psikolog Universitas Erlanga Tri Kurniati Ambarini, menguntit merupakan hal yang kompleks secara psikologis dan memiliki konsekuensi negatif.
Ketiganya mengaitkan kerusakan mental dengan perburuan. Menurutnya, para penguntit bisa mengalami kecemasan, depresi, atau kesepian akibat perilaku negatifnya.
Selain itu, hal ini juga dapat menyebabkan penyakit mental. “Gangguan kepribadian, gangguan kepribadian paranoid, atau gangguan kepribadian antisosial merupakan faktor yang memaksa seseorang menjadi whistleblower,” kata Three dalam keterangannya, dikutip Sabtu (20/07/2024).
Ia menjelaskan, menguntit merupakan evolusi dari perilaku irasional. Kelakuan buruk ini terjadi sebagai sasaran pencarian informasi. Setelah penyerang mendapatkan kendali, penyerang biasanya mulai menghubungi dan melecehkan target, mencoba mengendalikan interaksi target.
Three juga menjelaskan implikasi hukum dan pribadi yang dihadapi para aktivis. “Nahanan yang melakukan penguntitan dapat menghadapi hukuman hukum yang serius dan merusak reputasi atau karier korban untuk jangka waktu yang lama,” katanya.
Dia mengatakan penguntitan dapat merusak hubungan pribadi dan profesional. Sebab, rasa takut dan panik yang dialami korban. “Sering kali, korbannya bukan sekedar jahat. Bahkan, pelakunya akan disakiti dan disakiti dalam jangka waktu yang lama,” jelasnya.
Untuk mengatasi masalah perilaku obsesif seperti menguntit, Toru merekomendasikan intervensi psikologis individual melalui terapi perilaku kognitif (CBT). Menurutnya, obat tersebut efektif mengatasi gangguan kecemasan dan gangguan kecemasan terkait.
“CBT membantu pelaku untuk mengubah pikiran dan pola perilaku negatif yang terkait dengan kecanduan. CBT adalah salah satu teknik CBT yang paling efektif dalam kasus kecanduan konyol,” ujarnya.